Terlalu gegabah menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen. – HB Jassin
TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK
Catatan Ahmad Gaus
(Berikut adalah esai untuk mengenang Buya Hamka yang wafat pada
tanggal 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun. Beliau almarhum adalah seorang
ulama dan sekaligus sastrawan besar yang dimiliki bangsa kita. Selamat
membaca).
ADA CERITA menarik dari Kutaraja (kini Banda Aceh). Setiap Rabu
malam, orang-orang berkerumun di stasiun kereta menunggu kiriman majalah
Pedoman Masjarakat yang terbit di Medan. Mereka bukan hanya
agen penjual majalah itu, tapi juga ratusan pembaca yang tidak sabar
ingin membaca kelanjutan kisah “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” yang
dimuat di majalah itu secara bersambung pada 1938.1] Penulis cerita
bersambung itu ialah Hamka, nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim
Amrullah, yang juga pengasuh dan pendiri majalah mingguan Pedoman Masjarakat.
Hamka menuturkan bahwa ia mendapat banyak surat dari pembaca—atau
tepatnya, penggemar—cerita Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Sebagian
surat itu berisi pengungkapan kesan mereka setelah membaca kisah cinta
tragis antara Zainuddin dan Hayati yang dikungkung adat dalam
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. “Seakan-akan Tuan menceritakan nasibku
sendiri,” tulis seorang pemuda dalam suratnya.2]
Berdasarkan masukan dari berbagai pihak, cerita bersambung itu
akhirnya diterbitkan dalam bentuk novel dengan judul yang sama pada
1939. Hamka menulis novel itu berdasarkan kisah nyata tentang kapal Van
Der Wijck yang berlayar dari pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju
Tanjung Priok, Jakarta, dan tenggelam di Laut Jawa, timur laut Semarang,
pada 21 Oktober 1936. Peristiwa itu kemudian diabadikan dalam sebuah
monumen bersejarah bernama Monumen Van Der Wijck yang dibangun pada
tahun 1936 di Desa Brondong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan,
sebagai tanda terima kasih masyarakat Belanda kepada para nelayan yang
telah banyak membantu saat kapal itu tenggelam. Dan Hamka
mengabadikannya dalam sebuah novel.
Walaupun peristiwa tenggelamnya kapal Van Der Wijck itu benar-benar
terjadi, kisah yang ditulis Hamka dalam novel itu tentu saja fiksi
belaka. Sebagaimana umumnya karya sastra yang baik dibangun di atas
serpihan kejadian nyata, Hamka pun mengolah tragedi yang memilukan itu
dalam kisah fiksi yang diberi badan peristiwa konkret dengan plot yang
apik sehingga imajinasi pembacanya memiliki pijakan di dunia faktual.
Karakter utamanya (Zainuddin, Hayati, dan Aziz) seolah pribadi-pribadi
yang benar-benar hidup dan mewakili potret kaum muda pada masa itu
ketika mereka berhadapan dengan arus perubahan sementara kakinya
berpijak pada adat dan tradisi.
Kepiawaian Hamka dalam menyampaikan kritiknya atas tradisi boleh jadi
melanjutkan kesuksesan pendahulunya Marah Rusli dalam roman Siti Nurbaya
yang melegenda itu. Keduanya juga sama-sama berkisah tentang adat dan
kawin paksa. Dan keduanya berujung kematian tokoh-tokoh utamanya.
Bedanya, Siti Nurbaya menimbulkan dampak yang sangat kuat dan
melintasi zaman karena ide ceritanya itu sendiri, sementara Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck melahirkan guncangan keras karena kontroversi yang
menyertai ide cerita. Siti Nurbaya adalah kisah cinta di atas
panggung tradisi. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck juga kisah cinta yang
sama namun sekaligus kisah tentang kesusastraan di pentas pertarungan
politik. Belum pernah ada perdebatan yang begitu keras tentang sebuah
novel melebihi karya Hamka ini. Novel ini dituduh sebagai plagiat dari
novel Majdulin karya Mustofa Lutfi al Manfaluti (sastrawan Mesir), yang merupakan saduran dari novel Sous les Tilleuls (‘Di Bawah Pohon Tilia’) karya Alphonse Karr (sastrawan Prancis).3]
Sebagaimana novel Siti Nurbaya, novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
juga berkisah tentang cinta yang tak sampai. Tokoh utamanya, Zainuddin,
adalah anak dari Pendekar Sutan yang diasingkan ke Cilacap karena
membunuh mamaknya dalam sebuah perselisihan harta warisan. Setelah bebas
ia pergi ke Makassar dan di kota ini menikah dengan Daeng Habibah. Dari
pernikahan inilah lahir Zainuddin. Setelah orangtuanya meninggal,
Zainuddin pergi ke Batipuh, Padang Panjang, yang merupakan kampung
halaman ayahnya. Sayangnya, di sana ia tidak diperlakukan dengan baik
karena dianggap bukan anak Minang. Maklum walaupun ayahnya seorang
Minang, ibunya orang Bugis sehingga putuslah pertalian darah menurut
garis matrilinear yang bernasabkan kepada ibu.
Sungguhpun begitu Zainuddin menjalin cinta dengan Hayati, gadis
Minang yang prihatin terhadap nasibnya dan sering mencurahkan kesedihan
hatinya kepada Hayati. Sebagai gadis keturunan bangsawan, tentu saja
keluarga Hayati mencegahnya berhubungan dengan Zainuddin yang bukan
orang Minang dan tidak jelas pula masa depannya. Keluarga Hayati memilih
Aziz yang asli Minang dan berasal dari keluarga terpandang. Hayati
harus tunduk pada kesepakatan keluarga, walaupun hatinya condong pada
Zainuddin.
Zainuddin menganggap Hayati telah berkhianat. Akhirnya dengan membawa
perasaan luka ia pergi ke Jakarta, kemudian pindah ke Surabaya.
Sementara itu Hayati dan Aziz yang telah menikah juga pergi ke Surabaya
dan tinggal di sini karena alasan pekerjaan. Tanpa sengaja, dalam suatu
acara keduanya bertemu dengan Zainuddin yang telah menjadi orang sukses.
Sedangkan kehidupan ekonomi Aziz dan Hayati semakin lama semakin
memburuk. Aziz jatuh miskin sampai-sampai ia dan istrinya harus
menumpang di rumah Zainuddin. Tak tahan menahan penderitaan, Aziz
akhirnya bunuh diri dan sebelumnya meninggalkan pesan agar Zainuddin
menjaga Hayati.
Zainuddin yang pernah dikhianati merasa sulit untuk menerima kembali
Hayati. Perasaan cinta yang masih menyala dicoba untuk dipadamkan.
Bahkan ia meminta Hayati untuk kembali ke kampung halaman di Batipuh,
walaupun wanita itu merajuknya: “Tidak Hayati ! kau mesti pulang kembali
ke Padang! Biarkan saya dalam keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau!
Janganlah hendak ditumpang hidup saya , orang tak tentu asal ….Negeri
Minangkabau beradat !…..Besok hari senin, ada Kapal berangkat dari
Surabaya ke Tanjung Periuk, akan terus ke Padang! Kau boleh menumpang
dengan kapal itu, ke kampungmu”. (hal. 198)
Hayati pun pulang dengan menumpang kapal Van Der Wijck. Namun nasib
malang menimpanya. Kapal yang ditumpanginya tenggelam di Laut Jawa.
Zainuddin yang mendengar berita itu langsung menuju rumah sakit di
Tuban. Sayang nyawa Hayati tidak dapat diselamatkan. Sejak peristiwa itu
Zainuddin sering mengalami sakit sampai akhirnya meninggal dan
dimakamkan di samping pusara Hayati.
Ujung cerita tragis tampaknya menjadi pilihan untuk menyampaikan
pesan bahwa cinta yang merupakan pangkal kebahagiaan seseorang sering
dikorbankan demi martabat keluarga atau keturunan. Novel ini ditulis
sebagai kritik terhadap beberapa tradisi dalam adat Minang saat itu yang
tidak sesuai dengan dasar-dasar Islam ataupun akal budi yang sehat.4]
Penulisnya sangat berwenang melakukan itu karena ia hidup dalam kumparan
masa tersebut. Sehingga ia bukan hanya merekam sejarah, melainkan juga
sang pelaku yang fasih dengan kultur masyarakat Minang dan perubahannya
pada zaman itu.5]
Sejak awal novel ini diterbitkan berpindah dari satu penerbit ke
penerbit lain. Mula-mula penerbit swasta, kemudian mulai tahun 1951 oleh
Balai Pustaka. Lalu pada tahun 1961 oleh Penerbit Nusantara. Hingga
tahun 1962 novel ini telah dicetak lebih dari 80 ribu eksemplar. Setelah
itu penerbitannya diambilalih oleh Bulan Bintang.6] Tidak hanya di
Indonesia, Van Der Wijck juga berkali-kali dicetak di Malaysia. Hingga
kini novel ini terus dicetak, bahkan tahun ini (2013) novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck ini sedang dibuat film layar lebarnya.
Reaksi negatif dari sejumlah pembaca Muslim telah muncul saat pertama
novel ini diterbitkan. Mereka menolak membacanya dan mengatakan bahwa
seorang ulama tidak sepatutnya mengarang cerita tentang percintaan.
Dalam sebuah tulisan di Pedoman Masyarakat No. 4 1938, Hamka seolah
membela diri menyatakan bahwa tidak sedikit roman yang berpengaruh
positif terhadap pembacanya seperti roman tahun 1920-an dan 1930-an yang
mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya
pembedaan kelas.7]
Tidak berhenti di situ, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
menghadapi batu sandungan lebih keras pada 1962, yakni 24 tahun sejak
pertama diterbitkan. Seorang penulis bernama Abdullah SP membuat esai
berjudul “Aku Mendakwa Hamka Plagiat” yang dimuat di Harian Bintang Timur 7 September 1962. Dalam esai itu ia menilai bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ialah hasil jiplakan dari novel Magdalena karya sastrawan Mesir Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi yang juga hasil saduran dari novel Sous les Tilleuls karya pengarang Prancis, Alphonse Karr.
Untuk membuktikan tuduhannya Abdullah SP membuat perbandingan dengan
metode “idea-script” dan “idea-sketch” yang menjajarkan dua novel itu
secara detail dalam bentuk tabel perbandingan. Metode perbandingan
semacam ini baru pertama dilakukan sepanjang sejarah sastra Indonesia.
Dan dari hasil perbandingan itu Abdullah SP menemukan banyak kemiripan,
sehingga ia menuduh Hamka sebagai plagiator. Karuan saja tuduhan itu
memicu polemik, lebih-lebih serangan terhadap Hamka tidak berhenti pada
esai tersebut melainkan berlanjut dengan dibuatnya kolom khusus di
Harian Bintang Timur yang berjudul “Varia Hamka” dalam lembaran
kebudayaan Lentera yang diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer.
Kasus ini terus bergulir menjadi polemik lantaran muncul pada era
pertentangan ideologi yang cukup keras antara kubu seniman kiri Lekra
versus kubu Manifes Kebudayaan. Para sastrawan Manifes Kebudayaan
membela Hamka dari tuduhan para seniman Lekra. Kedudukan Hamka sebagai
anggota Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), partai yang dilarang
oleh Presiden Soekarno pada Agustus 1960, memperkeras polemik dan
membawanya ke ranah politik—bukan semata polemik sastra. Lekra banyak
menentang agama. Oleh sebab itu, Hamka yang merupakan ulama dianggap
sebagai salah satu target penting.8] Kubu Abdullah SP (yang konon adalah
nama samaran dari Pramoedya Ananta Toer sendiri) berhadapan dengan kubu
HB Jassin bersama para sastrawan yang ikut membela Hamka yakni Anas
Makruf, Ali Audah, Wiratmo Soekito, Asrul Sani, Rusjdi, Umar Junus,
Soewardi Idris, dan lain-lain.
Serangan terhadap Hamka berlangsung berbulan-bulan “dengan bahasa
yang sangat kasar dan tak layak sama sekali dimuat dalam ruang
kebudayaan Lentera dan telah menjadi fitnah terhadap pribadi dan
keluarga sastrawan tersebut.”9] Dalam sebuah pembelaannya terhadap
Hamka, HB Jassin menulis bahwa Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukanlah
karya plagiat. Menurutnya, yang disebut plagiat adalah pengambilan
karangan orang lain sebagian atau seluruhnya dan membubuhkan nama
sendiri seolah-olah kepunyaannya. Di samping plagiat, ada saduran, yaitu
karangan yang jalan ceritanya dan bahan-bahannya diambil dari suatu
karangan lain, misalnya cerita luar negeri disesuaikan dengan alam
sendiri (Indonesia) dengan mengubah nama-nama dan suasananya. Saduran
itu pun harus disebutkan nama pengarang aslinya. Selain “plagiat” dan
“saduran”, ada juga “pengaruh”, yakni hasil ciptaan pengarang sendiri
mendapat pengaruh pikiran atau filsafat pengarang lain, baik disengaja
maupun tidak.
Menurut HB Jassin dalam pengantar buku Manfaluthi yang kemudian diterjemahkan menjadi Magdalena (1963), memang antara dua novel itu terdapat ada kemiripan plot, pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan yang mengingatkan kepada Magdalena, tetapi ada pengungkapan sendiri, pengalaman sendiri, permasalahan sendiri. Sekiranya ada niat pada Hamka untuk menyadur Magdalena Manfaluthi,
lanjutnya, maka kepandaian Hamka melukiskan lingkungan masyarakat dan
menggambarkan alam serta manusianya, kemahirannya melukiskan seluk-beluk
adat istiadat serta keahliannya membentangkan latar belakang sejarah
masyarakat Islam di Minangkabau, mengangkat ceritanya itu jadi ciptaan
Hamka sendiri.
Atas dasar itu, Jassin berpandangan bahwa karya Hamka bukan plagiat
atau jiplakan, karena Hamka tidak hanya menerjemahkan dan membubuhkan
nama sendiri dalam terjemahan itu, melainkan ia menciptakan karya dengan
seluruh kepribadiannya. Karena itu, “terlalu gegabah untuk menuduh
Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.”
Bagaimana sikap Hamka sendiri atas kasus yang menimpanya. Dalam
majalah Gema Islam (1962) ia menulis: “Tjatji maki dan sumpah-serapah
terhadap diri saja dengan mengemukakan tuduhan bahwa buku Tenggelamnja Kapal Van der Wijck
jang saja karang 24 tahun jang lalu, adalah sebuah plagiat, atau
djiplakan, atau hasil tjurian atau sebuah skandal besar, tidaklah akan
dapat mentjapai maksud mereka untuk mendjatuhkan dan menghantjurkan
saja. Dengan memaki-maki dan menjerang demikian persoalan belumlah
selesai.”
Hamka akhirnya memang lebih banyak bersikap pasif. Ia menyatakan
bahwa kalau ada orang yang menunggu-nunggu dirinya membalas segala
serangan dan hinaan itu, maka mereka akan lelah menunggu karena ia tidak
akan membalas. Yang ia tunggu, ujarnya, adalah terbentuknya satu
Panitia Kesusastraan yang bersifat ilmiah, yang apabila Panitia tersebut
memandang perlu untuk menanyainya, maka ia akan bersedia memberikan
keterangan.
Pada tanggal 19 November 1962, Bintang Timur memuat
pernyataan bahwa redaksi menerima larangan dari Peperda (Penguasa Perang
Daerah) agar persoalan Hamka tidak dimuat lagi di lembar kebudayaan
Lentera. Namun pro-kontra kasus itu sudah terlanjur membesar sehingga
larangan dari Peperda itu seolah dianggap sepi. Polemik terus bergulir
selama kurang lebih 3 tahun, sampai terjadinya peristiwa yang disebut
G30S/PKI 1965 yang benar-benar mengubur kasus tersebut.
Sisi lain yang menarik dari karya Hamka ialah pelabelan sastra Islam
padahal tidak satu pun ada petuah agama yang terkandung di dalamnya
(secara eksplisit). Baik di dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck maupun karya lainnya yang terkenal seperti Di Bawah Lindungah Kabah dan Merantau Ke Deli,
sastrawan kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908, ini
sangat piawai menyisipkan nilai-nilai keislaman secara implisit.
Hal ini berbeda dengan para penulis karya islami yang banyak
bermunculan akhir-akhir ini yang sangat gamblang menggunakan
simbol-simbol Islam, bahkan mengutip ayat-ayat Quran atau hadis,
sehingga karya novel hampir menyerupai kitab fikih. Pada Hamka,
penyebutan kata Islam bisa dihitung dengan jari, alih-alih mengutip
Quran. Hal ini menarik perhatian kritikus sastra Jakob Soemardjo. Ia
menilai bahwa Hamka lebih mengutamakan substansi keislaman ketimbang
pemaparan tentang hukum-hukum Islam secara eksplisit. “Hamka memasukkan
nilai-nilai agama secara universal, sehingga umat di luar Islam juga
tertarik untuk menikmatinya,” kata Guru Besar Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Bandung itu.10]
Mungkin karena sifatnya yang tidak verbalistik itulah maka
karya-karya Hamka menjadi abadi. Sampai wafatnya pada 24 Juli 1981,
Hamka akan terus dikenang sebagai pengarang yang berdedikasi pada
kesusastraan di tanah air. Kabar terakhir yang menggembirakan ialah
bahwa selain akan difilmkan, novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck juga
sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan akan diterbitkan di
Mesir. Buku Hamka ini merupakan langkah awal penerjemahan buku-buku
Indonesia ke dalam bahasa Arab.11]
Catatan
1. Sebagaimana dituturkan kolega Hamka yang juga wartawan dan penulis terkenal, M. Yunan Nasution, lihat: http://buyahamka.org/ mengenang-sastrawan-besar-hamka/
2. “Hamka Menggebrak Tradisi”, Tempo, 19 Mei 2008
3. Polemik mengenai kasus ini telah didokumentasikan, di antaranya dalam buku: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dalam Polemik, editor Junus Amir Hamzah dengan bantuan penuh HB Jassin (Jakarta: Mega Book Store, 1963); Aku Mendakwa Hamka Plagiat! Skandal Sastra Indonesia 1962-1964 oleh Muhidin M Dahlan (Yogyakarta: ScriPtaManent dan Merakesumba, 2011)
4. HB Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 63
5. “Hamka Menggebrak Tradisi”, Tempo, 19 Mei 2008
6. Maman S. Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 168
7. “Hamka Menggebrak Tradisi”, Tempo, 19 Mei 2008
8. Maman S Mahayana, Oyon Sofyan, dan Ahmad Dian, Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern (Jakarta: Grasindo, 1995), hal. 78–79
9. DS Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk (Jakarta: Mizan, 1995), hal. 40, catatan kaki no. 1
10. “Berdakwah Tanpa Mengajari”, Jurnal Nasional, 31 Agustus 2008
11. http://www.antaranews.com/berita/334814/novel-tenggelamnya-kapal-van-der-wijch-menyapa-pembaca-arab diakses pada 14 Juni 2013
Sabtu, 28 Desember 2013
Sabtu, Desember 28, 2013 | by Sidik Nuryusupiandi |
| No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar